Beroperasinya sistem pidana yang
wajar dan layak (due process of law) di dalam sebuah negara hukum,
merupakan indikator terpenting sejauh mana penghormatan negara terhadap
hak-hak warga negaranya dan pelaksanaan konsep negara hukum. Kegagalan
negara untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang wajar dan layak,
merupakan sebuah kegagalan negara di dalam mempertahankan integritas
sistem hukumnya secara keseluruhan.
Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia boleh dikatakan telah gagal di dalam menjalankan sistem peradilan pidana yang wajar dan layak. Banyaknya peradilan sesat dan proses pemidanaan yang sewenang-wenang merupakan satu dari banyak
indikasi dari telah gagalnya sistem peradilan pidana Indonesia. Fenomena
kegagalan sistem peradilan pidana Indonesia, tidak hanya dirasakan oleh
para tersangka, namun juga berimbas pada proses pemberantasan tindak
pidana korupsi. Hal mana tergambar dalam sengketa antara KPK dan Polri
terkait kasus simulator SIM.
Sengkata KPK dan Polri bukan
merupakan insiden terisolasi, namun merupakan persoalan sistemik yang
mengungkapkan cacat mendasar dari desain KUHAP yang berlaku saat ini
sebagai inti pengaturan sistem peradilan pidana. Cacat itu terletak pada
lemahnya kontrol terhadap pelaksanaan kewenangan pra penuntutan
(penyelidikan dan penyidikan). Lemahnya kontrol terhadap proses pra
penuntutan, selama puluhan tahun, telah membentuk perilaku
sewenang-wenang dan arogan yang kerapkali ditunjukkan oleh Polri.
Kehadiran KPK dengan kewenangan pra penuntutan yang lebih tinggi dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, tampaknya telah menganggu kemapanan
dan kenyamanan Polri sebagai institusi yang selama ini mendominasi
proses pra penuntutan dalam sistem peradilan pidana.
Revisi KUHAP
Cacat desain KUHAP tidak terlepas
dari konfigurasi politik pada saat pembahasan dan pemberlakuan KUHAP.
KUHAP saat ini disusun dan dibentuk pada tahun 1981, konfigurasi politik
Orde Baru pada saat itu masih didominasi oleh pelemahan institusi sipil
dan diperkuatnya institusi militer pada setiap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Konfigurasi politik yang demikian,
berimplikasi pada desain KUHAP yang steril dari hak-hak asasi subtantif
dari para tersangka/terdakwa dan pelemahan institusi sipil. Salah satu
indikasi pelemahan institusi sipil adalah dipindahkannya kewenangan
penyidikan dari jaksa ke Polri, yang pada saat itu merupakan bagian dari
institusi militer.
Selain pemindahan kewenangan jaksa,
kewenangan peradilan pun dilemahkan dengan mereduksi kewenangan pra
peradilan, yang hanya menyangkut tiga aspek kewenangan yakni, ganti
kerugian dan rehabilitasi, sah atau tidaknya penangkapan/penahanan dan
sah atau tidaknya penghentian penuntutan atau penahanan. Keterbatasan
ini diperparah dengan praktik pra peradilan yang cenderung hanya
memeriksa kelengkapan administrasi dibandingkan persoalan subtantif yang
terkandung pada hak-hak tersangka/terdakwa pada proses hukum yang layak
dan wajar.
Kecacatan dari KUHAP bukan
merupakan sesuatu yang tidak disadari oleh banyak pihak. Gagasan dan
gerakan untuk mendorong revisi KUHAP telah gencar dilakukan, bahkan dari
kalangan pemerintah dan DPR. Pada saat ini pemerintah telah berhasil
menelurkan draf Rancangan KUHAP dan sudah nyaris pada tahapan penyerahan
untuk dibahas di DPR. Namun, langkah tersebut terhenti dengan penolakan
yang diajukan oleh Polri terutama sekali terkait dengan kuatnya peran
lembaga yudikatif melalui hakim komisaris di dalam proses pra
penuntutan.
Jika dibandingkan dengan lembaga
pra peradilan saat ini, kewenangan hakim komisaris jauh lebih besar dari
di dalam mengontrol peran lembaga pra penuntutan di dalam mengawasi
pengunaan upaya-upaya penegakan hukum -penggeledahan, penyadapan,
penahanan, penangkapan, dst-. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan bagi
Polri, mengingat jika rancangan ini disahkan, maka akan mengakhiri
kewenangan dominan Polri di dalam fase pra penuntutan.
Peran Pengadilan
Penguatan peran pengadilan di dalam
Rancangan KUHAP saat ini, terutama dalam proses pra penuntutan
merupakan sebuah kebijakan yang tepat. Kebijakan ini memiliki
justifikasi yang cukup kuat, baik pada level teoritik maupun level
empirik. Pada dasarnya secara teoritik kewenangan di dalam upaya
penegakan hukum pidana merupakan kewenangan yang dimiliki oleh
pengadilan/yudikatif. Hal ini dikarenakan, sifat represif dari
kewenangan pidana yang melanggar hak-hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, pelanggaran
hak-hak asasi manusia, seperti, pelanggaran hak privasi atau perampasan
kemerdekaan, hanya dapat dilakukan jika penyidik mendapatkan izin
pengadilan untuk melakukannya. Sehingga, dibanyak negara-negara maju,
peran pengadilan yang dominan dalam fase pra penuntutan merupakan inti
dari penerapan proses hukum yang wajar dan layak di dalam sistem
peradilan pidananya.
Pada level empirik, pada saat ini
pertumbuhan jenis tindak pidana tertentu meningkat cukup signifikan, hal
ini dibarangi dengan pertumbuhan jumlah lembaga penegak hukum yang
terspesialisasi mengikuti jenis tindak pidananya. Pada saat ini, selain
Polri, terdapat beberapa kementerian/lembaga negara yang memiliki
Penyidik PNS untuk mengusut tindak pidana sektoral dari masing-masing
kementerian/lembaga. Selain PPNS, tercatat beberapa institusi diluar
Polri yang memiliki mandat penegakan hukum, antara lain, Komnas HAM, KPK
dan Angkatan Laut (Tindak Pidana Kelautan).
Bertambahnya jumlah lembaga yang
memiliki mandat penegakan hukum memiliki potensi sengketa
kompetensi/kewenangan antara institusi kementerian/lembaga tersebut
dengan Polri, seperti yang saat ini berlangsung antara KPK dan Polri,
semakin besar. Peran pengadilan di dalam kasus-kasus seperti ini adalah
untuk menyelesaikan sengketa kompetensi antara lembaga-lembaga penegak
hukum yang saling bersengketa.
Signifikansi revisi KUHAP dengan
penguatan peran peradilan dan pencantuman hak-hak subtantif tidak hanya
strategis untuk memperbaiki kegagalan sistemik dari sistem peradilan
pidana Indonesia, namun secara politik, merupakan bentuk perlawanan
terhadap arogansi Polri yang telah menahan proses pembahasan revisi
KUHAP. Langkah tegas Presiden untuk segera menyerahkan draf pembahasan
revisi KUHAP kepada DPR, merupakan kontribusi konkret dari Presiden
terkait dengan sengketa antara KPK dan Polri, jika Presiden merasa bahwa
mencampuri secara langsung merupakan tindakan inkonstitusional dan
intervensi penegakan hukum.
Khusus terkait dengan kasus
sengketa Polri dan KPK, sejalan dengan logika penguatan peran pengadilan
di dalam Sistem Peradilan Pidana, maka upaya konkret untuk
menyelesaikan sengketa Polri dan KPK yang ada saat ini ialah dengan
menanyakan pendapat pengadilan/Mahkamah Agung untuk memutuskan siapa
yang lebih berhak antara Polri dan KPK dalam menangani kasus Simulator
SIM.
Sumber : Giri Ahmad Taufiq
Pendampingan PPRG STAIN Metro
8 tahun yang lalu
Nama : Ronald hidayat
BalasHapusNPM : 0950063
Prody : AHS
Drama KPK vs Polri bukanlah yang pertama terjadi, setelah dahulu sempat mencuat kasus cicak vs buaya kini polemik tersbut terjadi lagi antara KPK dengan polri, yg dimana permasalahan muncul menyangkut kewenangan dua lembaga tersebut menangani kasus simulator sim,kalau menilai siapa yang berwenang menurut saya adalah KPK, karna dalam dunia hukum itu termasuk asas Lex spesialis derogat lex generalis, undang2 yg bersifat khusus mengenyampingkan undang2 yang bersifat umum, seharusnya yang digunakan adalah UU no 30 tahun 2002 tentang KPK, bukan mengacu kpada Ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP).. dan padahal pasal 50 Undang-undang KPK sudah tegas mengatur bahwa jika KPK sudah menyidik sebuah kasus maka penyidik yang lain harus menghentikan penyidikannya.. Jadi sudah jelas tidak ada sengketa kewenangan sama sekali sebenarnya disini, tinggal polri saja mau menerima, mau legowo apa tidaknya.. nah sekarang kalau polri menggunakan UU Polri, itupun berlaku asas Lex posteriori derogat lex priori, yang bermakna bahwa perundang2an yang lahir paling akhir, mengesampingkan perundang2an yang lahir lebih dulu, kita ketahui uu polri lebih dulu ada ketimbang uu kpk, jadi uu KPK memanglah yang mempunyai kewenangan. sebetulnya juga ada 40 UU yang menyangkut hal pidana diluar KUHAP, misalnya aja UU ttg terorisme, cara penangkapan, hukuman, itu berbeda penanganannya dengan KUHAP, yg harus dipatuhi polri.. sama saja dengan UU KPK ini. memang sikap arogansi polri ini cukup nampak sekali, logika orang awam saja pasti bisa menerka2 apa yang ada didalam benak polri, di saat salah satu anggotanya terlibat kasus korupsi, polri sepertinya takut akan citranya buruk, dengan ingin mengambil alih kewenangan tersebut, serta yang paling mencolok adalah soal penangkapan kompol novel baswedan, penyidik KPK yang sedang menangani kasus simulator sim tersebut... penangkapan inipun terasa ganjil, penangkapan dilakukan tanpa ada surat penangkapan melalui pengadilan, kemudian penangkapan dilakukan ketika jam 10 malam, yg dimana gedung KPK ketika itu seperti biasa sudah tutup dan tdak ada petinggi KPK disana, serta penangkapan yg dinilai tidak profesional sesuai dengan hukum acara, kenapa menangkap satu orang saja harus membawa banyak polisi, seperti mau menangkap teroris saja.. hm mudah2an ini bukan pencitraan SBY ya, yang kemudian muncul dengan gagahnya memberikan solusinya..
Nama : Ronald hidayat
BalasHapusNPM : 0950063
Prody : AHS
Drama KPK vs Polri bukanlah yang pertama terjadi, setelah dahulu sempat mencuat kasus cicak vs buaya kini polemik tersbut terjadi lagi antara KPK dengan polri, yg dimana permasalahan muncul menyangkut kewenangan dua lembaga tersebut menangani kasus simulator sim,kalau menilai siapa yang berwenang menurut saya adalah KPK, karna dalam dunia hukum itu termasuk asas Lex spesialis derogat lex generalis, undang2 yg bersifat khusus mengenyampingkan undang2 yang bersifat umum, seharusnya yang digunakan adalah UU no 30 tahun 2002 tentang KPK, bukan mengacu kpada Ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP).. dan padahal pasal 50 Undang-undang KPK sudah tegas mengatur bahwa jika KPK sudah menyidik sebuah kasus maka penyidik yang lain harus menghentikan penyidikannya.. Jadi sudah jelas tidak ada sengketa kewenangan sama sekali sebenarnya disini, tinggal polri saja mau menerima, mau legowo apa tidaknya.. nah sekarang kalau polri menggunakan UU Polri, itupun berlaku asas Lex posteriori derogat lex priori, yang bermakna bahwa perundang2an yang lahir paling akhir, mengesampingkan perundang2an yang lahir lebih dulu, kita ketahui uu polri lebih dulu ada ketimbang uu kpk, jadi uu KPK memanglah yang mempunyai kewenangan. sebetulnya juga ada 40 UU yang menyangkut hal pidana diluar KUHAP, misalnya aja UU ttg terorisme, cara penangkapan, hukuman, itu berbeda penanganannya dengan KUHAP, yg harus dipatuhi polri.. sama saja dengan UU KPK ini. memang sikap arogansi polri ini cukup nampak sekali, logika orang awam saja pasti bisa menerka2 apa yang ada didalam benak polri, di saat salah satu anggotanya terlibat kasus korupsi, polri sepertinya takut akan citranya buruk, dengan ingin mengambil alih kewenangan tersebut, serta yang paling mencolok adalah soal penangkapan kompol novel baswedan, penyidik KPK yang sedang menangani kasus simulator sim tersebut... penangkapan inipun terasa ganjil, penangkapan dilakukan tanpa ada surat penangkapan melalui pengadilan, kemudian penangkapan dilakukan ketika jam 10 malam, yg dimana gedung KPK ketika itu seperti biasa sudah tutup dan tdak ada petinggi KPK disana, serta penangkapan yg dinilai tidak profesional sesuai dengan hukum acara, kenapa menangkap satu orang saja harus membawa banyak polisi, seperti mau menangkap teroris saja.. hm mudah2an ini bukan pencitraan SBY ya, yang kemudian muncul dengan gagahnya memberikan solusinya..