Maraknya kejahatan dalam sistem transaksi elektronik semakin marak di Indonesia. Beberapa sahabat FB saya, salah satunya Bunda Sagita, pernah mengalami penipuan atas pembelian suatu barang. Maraknya kejahatan melalui transaksi elektronik sejalan pula dengan mudahnya membuat advertise toko online melalui media jejaring sosial seperti facebook, twiter dan media jejaring sosial lainnya. Boleh jadi karena mudahnya setiap orang membuat akun toko online di media jejaring sosial sehingga mengabaikan aturan main dalam membuat sebuah toko online yang harus dipertanggungjawabkan dan memunculkan peluang untuk disalahgunakan oleh pengguna akun dalam melakukan transaksi bohong.Hal ini tentu perlu perhatian khusus. Terutama, karena dalam perkembangannya di masyarakat, bentuk data elektronis seperti e-mail (surat elektronik) telah banyak digunakan dalam melakukan transaksi perdagangan. Bahkan, untuk melakukan suatu kontrak yang jelas-jelas menimbulkan hubungan hukum.
Pendapat kedua mengatakan, Internet sebaiknya diatur oleh masing-masing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah The Cyber-Separatist Discourse. Pendapat ini memisahkan antara kehidupan sosial di dunia nyata dengan kehidupan di dalam cyberspace. Berdasarkan pendapat ini sebaiknya pengaturan mengenai Internet tidak usah dilakukan oleh negara, karena tidak akan ada peraturan yang cocok untuk mengatur kemajemukan di Internet. Karena pengaturan Internet menggunakan kebiasaan, para pengguna Internet akan merasa lebih dapat menerima peraturan yang ada. Akan tetapi, kelemahan dari pendapat ini adalah tidak adanya penegakan hukum seandainya terjadi sengket antara para pihak.
Pendapat ketiga yaitu aliran The Cyber-Internationalist Discourse, mengatakan pengaturan Internet sebaiknya melalui ketentuan internasional. Jadi, ada suatu ketentuan hukum berlaku secara internasional yang mengatur mengenai Internet. Pendapat ini mengarahkan pandangannya kepada usaha untuk mengunifikasikan peraturan Internet. Kelemahan dari aliran ini adalah, tidak semua negara mau mengakui pengaturan mengenai Internet yang berlaku tersebut, karena tiap negara memiliki karakterisitik tersendiri.
Peran Aktif Hakim
pengamat hukum telematika UI Freddy Harris mengungkapkan bahwa perlu peran serta aktif hakim dalam hal ini. Apalagi sesuai ketentuan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970, hakim tidak dapat menolak perkara dengan dalih ketentuan hukum yang mengaturnya tidak ada atau kurang jelas. Sebagai penegak hukum dan keadilan memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Hal ini juga diatur dalam UU Pokok Kehakiman, yaitu dalam Pasal 27. Hal-hal inilah yang tidak banyak dilakukan oleh para hakim, hakim dalam setiap persidangan (kasus apapun) cenderung pasif karena hanya mendengarkan berbagai kesaksian.
Selain itu, mengutip Pasal 295 HIR dan pasal 184 KUHP, jelas bahwa isyarat-isyarat dan petunjuk dinyatakan sebagai alat bukti di muka persidangan. Jika dihubungkan dengan internet sebagai bentuk komunikasi, jelas bahwa dasar dari komunikasi tersebut adalah adanya informasi dan isyarat-isyarat yang dipancarkan, dikirim dan atau diterima.
Sumber










0 komentar:
Posting Komentar