INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

18 April 2014

Menyoal Extraordinary-nya Korupsi dan Ad Hoc-nya KPK

Kalau kita sempat mencermati beberapa materi pemberitaan maupun perbincangan di berbagai media massa pada akhir-akhir ini, bahkan dalam berbagai pendapat dan pernyataan para pejabat dan penyelenggara negara, tentu tidak asing lagi melihat dan mendengar jargon “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara ad hoc”, “korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime)”, dan jargon-jargon lain yang tidak kalah menggelitiknya.

Bagi masyarakat umum, baik yang berpendidikan tinggi maupun rendah, yang tinggal di kota maupun pelosok desa, jargon tersebut ternyata tidak sepenuhnya dimengerti dan dipahami secara tuntas. Banyak kalangan masyarakat menganggap, berasumsi, dan bahkan bersikukuh bahwa KPK dianggap sebagai lembaga negara ad hoc yang diartikan sebagai lembaga negara yang sifatnya sementara.

Gelitikan yang kedua adalah terkait interpretasi mengenai kejahatan atau tindak pidana korupsi yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Interpretasi ini bisa jadi merupakan ekses yang mengikuti semangat para pegiat anti korupsi dalam mencari justifikasi betapa pentingnya pemberantasan tindak pidana korupsi serta pentingnya mempertahankan eksistensi KPK yang merupakan lembaga negara utama/penjuru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehingga, karena kegigihan dan masifnya semangat para pegiat dan aktifis anti korupsi tersebut, mereka “berkonsensus” memasukkan tindak pidana korupsi dalam kategori extraordinary crime, tanpa peduli asbābun nuzūl dari istilah/kategori tersebut.

Tulisan ini hendak mencoba mengulas secara sederhana jargon-jargon tadi, yang mana menurut hemat saya semakin lama semakin tambah ngelantur dan menjangkiti sementara orang. Tujuannya adalah, meminjam istilah Jaya Suprana, untuk menghindari adanya “kelirumologi”.

Dalam ulasan ini, saya tidak akan berpendapat secara substansi (baik pro maupun kontra) mengenai eksistensi KPK, apakah merupakan lembaga negara ad hoc atau ad interim, karena selain tidak ditentukan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, dalam konsideran dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya disebutkan bahwa “KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien”.

* * *

Ad hoc sering dan hampir selalu disalahartikan dengan padanan frasa bersifat sementara. Padahal arti sebenarnya adalah untuk tujuan tertentu. Dalam Black’s Law Dictionary edisi kedelapan, ad hoc artinya adalah formed for a particular purpose. Sedangkan untuk padanan kata sementara, Black’s Law Dictionary mendefinisikan dengan frasa ad interim, yang artinya adalah in the meantime; temporarily.

Sehingga kurang begitu jelas ketika para politisi dan kalayak umum ramai-ramai dengan percaya dirinya berpendapat dan membuat pernyataan bahwa “KPK merupakan lembaga negara yang bersifat ad hoc. Bahkan karena ditafsirkan sifatnya sementara, maka sewaktu-waktu dapat dibubarkan ketika tugas pemberantasan tindak pidana korupsi telah dianggap selesai atau ada perbaikan pada instansi kejaksaan dan kepolisian. Pihak yang menyatakan pendapat tersebut mungkin maksudnya mau menyampaikan bahwa KPK adalah lembaga yang bersifat sementara, dan penggunaan kata ad hoc menurut hemat saya, berdasarkan definsi dari Black’s Law Dictionary, menjadi tidak relevan dan kurang tepat untuk digunakan.

Adapun untuk extraordinary crime, frasa tersebut biasa dipakai untuk menjelaskan kejahatan luar biasa yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Dan apabila kita mencermati Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) atau yang sering disingkat UNCAC, tidak terdapat materi yang menggambarkan atau menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan kategori kejahatan luar biasa yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam Statuta Roma, kejahatan yang termasuk dalam kategori extraordinary crimes adalah kejahatan genosida (pembunuhan massal), kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Untuk gelitikan kedua tersebut, memang apabila kita lebih jauh mencermati penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dijelaskan bahwa “Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi diperlukan metode secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”

Dalam pergulatan perumusan penjelasan tersebut, saya mencoba menebak-nebak nuansa kejiwaan para inisiator pembentuk undang-undang saat itu yang sedang begitu gigih-gigihnya dan mempunyai semangat anti korupsi yang membara, sehingga penafikan statuta (kesepakatan dasar) yang berlaku dan diakui secara internasional, yang juga selalu dijadikan rujukan utama atau argumen dalam setiap perdebatan, menjadil lazim untuk dimaklumi khalayak ramai. Sehingga, kemunculan frasa ad hoc, dalam arti untuk tujuan tertentu, dapat dipahami sepanjang dimaknai pembentukan KPK merupakan sebagai suatu badan khusus. Tetapi, di lain sisi, penggunaan frasa extraordinary crime untuk kejahatan tindak pidana korupsi tidak sejalan dengan konsepsi internasional yang tertuang dalam Statuta Roma.

Walaupun demikian, pemahaman tersebut justru menimbulkan perdebatan yang lebih menarik, dimana penyematan frasa ad hoc bisa menjadi tidak relevan lagi apabila ditelusuri dari penyebabnya, yaitu karena “tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”, yang mana tidak sejalan dengan konsepsi internasional tadi. Dalam perdebatan ini, saya cenderung memilih konsepsi Statuta Roma, sehingga konsekuensinya frasa ad hoc secara serta merta tidak relevan lagi disematkan.

* * *

Setelah mengetahui arti frasa ad hoc dan extraordinary crime, walaupun terbatas pada referensi Black’s Law Dictionary dan Statuta Roma, apakah kita masih akan ikut-ikutan latah menyebut bahwa KPK adalah lembaga negara yang sifatnya ad hoc, dalam artian sementara (bahkan untuk tujuan tertentu), sehingga menjadi alasan pembenar untuk mudah membubarkannya dan masih berpendapat bahwa tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime? Apabila anda ingin latah dan populer, walaupun salah kaprah, silahkan saja! (Tim Hukum – DPOK)

Sumber : http://www.setkab.go.id/artikel-12720-menyoal-extraordinary-nya-korupsi-dan-ad-hoc-nya-kpk.html

0 komentar:

Posting Komentar