INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

12 April 2014

Membaca Peta Politik Pasca Pemilu Legislatif 2014

Pesta Demokrasi boleh dikatakan sudah rampung. Perolehan suara masing-masing partai sudah banyak dipublish oleh banyak lembaga survey. Masing-masing mengaku bahwa akurasi quick count (hitung cepat) masing-masing lembaga survey adalah yang paling benar. Populi Center, misalnya, mengklaim hasil penghitungan cepat atau quick count miliknya terhadap Pemilihan Legislatif Rabu kemarin (9/4), terbilang akurat dibandingkan lembaga survei lainnya. Alasan mereka, metode yang digunakan adalah random sampling secara proporsional yang mencakup 33 provinsi, 77 daerah pemilihan, dan dibantu sebanyak 2 ribu orang relawan. Lingkaran /survei Indonesia (LSI) yang digadang oleh Denny JA., juga mengatakan bahwa validitas data survey yang dilakukan yang kemudian menjadi hasil quick count LSI merupakan pijakan paling dipakai untuk mendapatkan hasil perolehan suara paling tepat. Tentunya, masih banyak lembaga survey lainnya yang merasa bahwa lembaga survey yang mereka miliki adalah paling akurat hasil hitung cepatnya.

Terlepas dari itu semua, dari banyak lembaga survey baik yang terakreditasi maupun yang tidak, menempatkan Hasil hitung cepat pun menunjukan bahwa 5 besar partai politik hasil Pemilu 2014 berturut-turut PDIP 19,43%, Golkar 15,02%, Gerindra 11,83%, Demokrat 9,79%, PKB 9,43%, PAN 7,59%, PPP 7,10%, PKS 6,45%, Nasdem 6,30%, Hanura 5,18%, PBB 1,34% dan PKPI 0,97%.

Hasil hitung cepat yang disiarkan oleh Antaranews yang merupakan hasil dari kerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) hingga pukul 18.50 WIB menunjukkan hasil bahwa PDI Perjuangan meraih 18,56 persen, Partai Golkar 14,71 persen, Gerindra 11,58 persen, Partai Demokrat 10,03 persen, PKB 9,38 persen, PAN 7,52 persen, PKS 6,84 persen, NasDem 6,65 persen, PPP 6,63 persen, Hanura 5,55 persen, PBB 1,64 persen, dan PKPI 0,92 persen.

Sedangkan hasil hitung cepat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang telah mencapai 88,25 persen, menunjukkan hasil bahwa Partai NasDem meraih 6,29 persen, PKB 9,12 persen, PKS 6,56 persen, PDIP 19,74 persen, Partai Golkar 14,59 persen, Gerindra 11,78 persen, Partai Demokrat 9,72 persen, PAN 7,52 persen, PPP 7,05 persen, Hanura 5,28 persen, PBB 1,38 persen, dan PKPI 0,98 persen.

Hasil yang tak jauh berbeda ditunjukkan dalam hitung cepat dari Cyrus-CSIS yang dalam persentase sampel telah mencapai 90,60 persen, menunjukkan hasil bahwa Partai NasDem meraih 6,80 persen, PKB 9,30 persen, PKS 6,90 persen, PDIP 19,00 persen, Golkar 14,40 persen, Gerindra 11,90 persen, Partai Demokrat 9,60 persen, PAN 7,40 persen, PPP 6,70 persen, Hanura 5,40 persen, PBB 1,60 persen, dan PKPI 1,00 persen.

Data penghitungan quick count (terlepas bukan sebagai data resmi hasil pemilu legislatif) menunjukkan bahwa tidak ada satupun partai yang memenuhi elektabilitas mayoritas. Terlebih lagi dari penghitungan tersebut ada dua partai yang tidak lolos parliamentary treshold (PT) yaitu PBB dan PKPI karena untuk masuk DPR partai politik harus mendapat suara minimal sebesar 3,5 persen. Sementara itu, partai dengan perolehan suara tertinggi, PDIP dengan 18,2 persen belum cukup memenuhi syarat presidential treshold sehingga diperlukan koalisi dengan partai lainnya.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan bahwa ambang batas minimal syarat presidential treshold adalah 25 persen perolehan suara partai secara nasional. Artinya, dengan data hitung cepat sebagaimana dilansir banyak lembaga survey TIDAK ADA SATUPUN PARTAI yang memenuhi ambang batas perolehan suara hingga 25 persen.

Dengan demikian, satu partai politik harus bergabung dengan partai politik lain untuk memenuhi ambang batas 25 persen suara nasional itu. UU itu memang menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik yang meraih minimal 20 persen dari 560 kursi DPR RI atau partai politik yang meraih 25 persen suara sah secara nasional, yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah peta koalisi pasca Pileg 2014?. Bagaimanakah sikap tiga partai yang hampir resmi dinyatakan sebagai partai dengan perolehan suarat terbanyak mengajak partai lain untuk berkoalisi? Ini menjadi banyak kajian para pemerhati. Ada yang menilai bahwa berdasarkan Quick Count, akan muncul tiga blok, yaitu Blok Merah (PDI-P), Blok Kuning (Golkar), dan Blok Orange (Gerindra).

Nico Haryanto (Ketua Populi Center), mengatakan bahwa ada beberapa skenario yang dapat diperhitungkan agar partai politik bisa memenuhi presidential threshold. Skenario pertama, Nico menganjurkan PDIP cukup berkoalisi dengan partai pendatang baru, seperti Nasdem atau bisa juga dengan PKB. Apalagi komunikasi PDIP dengan kedua partai tersebut sangat baik dan tak memiliki trauma historis. Skenario kedua adalah koalisi Golkar dengan PKS karena memiliki karakter yang sama dalam hal sikap politiknya yang mengikuti koalisi pemerintah, namun bertindak seperti oposisi. Sementara skenario ketiga adalah koalisi antara Gerindra, Hanura, PPP, Demokrat, dan PAN.

Proyeksi dari koalisi di atas boleh jadi masih sebagai wacana dan belum fix, selain itu Parta Demokrat juga belum menentukan arah akan berkoalisi dengan siapa. Apabila Demokrat akan berkoalisi dengan Gerindra, kuota suara belum cukup untuk maju ke Pilpres karena hanya 20%an. Mengacu pada pengalaman praktik politik di parlemen dan pemerintahan sejauh ini, PDIP selalu menempatkan posisi sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang (check and balance) bagi pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Partai Demokrat.

Selama dua periode pemerintahan koalisi yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2004-2009 dan periode 2009-2014 (sesuai jadwal pelantikan Presiden baru pada 20 Oktober 2014) menempatkan PDIP pada posisi berseberangan sehingga hasil Pemilu 2014 ini juga tidak akan menempatkan keduanya berada pada satu koalisi.

Ical (Abu Rizal Bakrie) memang sudah memberikan ucapan selamat kepada megawati atas perolehan suara terbanya. Namun, apakah ini sebuah sinyalemen akan terjadi koalisi antara Kuning dan Merah, belum bisa dijadikan jaminan. Pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya, PDIP dan Partai Golkar juga tak pernah berkoalisi, melainkan sama-sama bersaing dalam Pemilu Presiden. Tertutup kemungkinan PDIP dan Partai Golkar berkoalisi menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden karena kedua partai itu telah memiliki calon presiden masing-masing.

Yang memang paling intens sejak sebelum Pemilu Legislatif dilaksanakan adalah PPP. Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang juga Menteri Agama mengaku sangat intensif membangun komunikasi dengan Partai Gerindra untuk berkoalisi. Suryadharma mengatakan koalisi sangat membutuhkan kesepahaman antar partai, terutama terkait visi pembangunan Indonesia di masa mendatang, dan untuk saat ini PPP memiliki pandangan sama dengan yang diusulkan Partai Gerindra. Akan tetapi Surya Dharma Ali yang sudah memberikan komitmen ke Prabowo untuk koalisikan Gerindra dengan PPP sedang digoyang di internal PPP melalui mosi tidak percaya dari 26 DPW. Apabila dia jatuh, koalisi Gerindra dengan PPP akan gagal.

Apapun dan bagaimanapun nanti, bagi rakyat sebenarnya bukan pada koalisi partai yang kemudian mengusung orang-orang terbaik untuk dijadikan Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi sejauh mana pemimpin negara mampu menciptakan rasa aman, rasa sejahtera dan rasa keadilan yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang memiliki karakter bangsa mandiri. Bentuk koalisi belum terpola secara pasti dan hanya pada komunikasi dan tawar menawar politik antara partai mana dengan partai mana. Hanya ada kesepakatan bahwa untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 9 Juli mendatang, partai-partai politik harus berkoalisi.

Untuk rakyat, bersiaplah menanti Pemerintahan koalisi segera datang kembali.




0 komentar:

Posting Komentar