INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

07 April 2014

Kenapa GOLPUT Harus Dikhawatirkan

Menjelang pemilu mulai banyak yang menyebarkan ide untuk menjadi golput atau secara terbuka menyatakan diri akan golput. Golput atau golongan putih dikenal sebagai sebutan untuk warga negara yang sengaja menolak memilih dalam pemilu, sekalipun mempunyai hak pilih.

Akhir-akhir ini beredar broadcast puisi yang di share melalui berbagai media jejaring social. Entah siapa yang menulis puisi itu. Mungkin orang yang membroadcast pertama itulah yang menjadi penulis puisi yang memiliki sarat makna akan hakikat politik negeri secara umum dan kapabilitas calon anggota dewan secara khusus. Kata demi kata, bait demi bait dari puisi itu mengisyaratkan betapa kepercayaan orang yang mengaku merasa terpanggil membenahi negeri ini sudah tak sedikitpun nampak. Coba simak puisi ini :

KAMU ITU SIAPA ? (Puisi untuk para Caleg)


Kamu itu siapa? Sekonyong-konyong datang meminta kepercayaan kami dan merasa bisa mengubah nasib kami...

Kamu itu dari mana saja? Mendadak hadir dengan sekarung janji di tengah sulitnya hidup kami...

Kamu itu kenapa? Sampai merasa terpanggil untuk membawa amanat berat negeri ini...

Kamu itu ke mana saja? Saat kami kebanjiran, sakit dan kelaparan, anak2 kami diculik, kekerasan menimpa kami kaum hawa, rumah ibadah kami diporakporandakan oleh aksi premanisme yang sagat menakutkan kami, kala aset negeri ini dikuasai asing karena perilaku anak negeri yang berjuang untuk diri sendiri, kala sumber daya alam tidak dikelola sesuai amanat Konstitusi, kala tikus2 berkeliaran di semua institusi...

Kamu dulu di mana? Ketika lapak dan rumah kami digusur, dengan atas nama kekuasaan...

Kamu di mana kemarin? Saat kami harus menelan ketidakadilan dan dirampas hak kami sebagai warganegara...

Kamu itu punya apa sih? Hingga begitu yakin akan meraih hati kami, untuk memilihmu mengurusi kami...

Sebulan ini, ratusan fotomu dengan berjas, berkopiah, berhijab dan berdandan rapi tersebar mengotori jalan desa dan kota kami. Berlatar lambang dan slogan janji organisasi, kamu senyum dipaksakan, untuk memikat hati kami...

Kamu itu siapa sih? Hingga merasa pernah mengenal kami...

Kamu itu siapa sih? Hingga merasa yakin dapat suara kami...

Kamu itu siapa? Maaf, kami tidak mengenal kalian..

Jika dicermati lebih jauh, puisi ini mengisyaratkan sebuah upaya perlawanan dalam bentuk tidak akan menyalurkan aspirasinya pada Pemilihan Umum di 2014. Boleh jadi, penyebab utama dari munculnya apolitik dan apatasime ini dipicu dengan terlalu melambungnya janji para calon anggota wakil rakyat yang bersimpuh di pusat kekuasaan.

Lalu, apakah broadcast ini sebuah bentuk kampanye GOLPUT…?. Sepintas boleh jadi orang beranggapan seperti itu. Namun jika kita mau mencermati kenapa muncul fenomena seperti itu, pasti akan bermakna lain. Justru dibalik kejujuran perasaan kaum proletar tersebut, sebenarnya masih terselip keinginan dan harapan akan indahnya negeri ini yang dipimpin oleh penguasa yang bukan hanya mementingkan kekuasaan dan kerakusan memperkaya diri.

Kenapa para punggawa negeri ini menjadi seperti ketakutan menghadapi GOLPUTERS. Simak saja statement Ketua KPU, Hasan Kamil, yang menegaskan, pihaknya akan bersikap tegas bagi pihak manapun yang mengkampanyekan golput dalam pemilu 2014. Ketegasan tersebut, akan diwujudkan dengan menjerat pelaku kampanye golput dengan pidana, sebagaimana tertera dalam UU Pemilu. Wakapolri, Irjen Badrodin Haiti, juga mengatakan bahwa Siapa pun yang melakukan penghasutan untuk tidak memilih (Golput) dalam penyelengaraan pemilu 2014, dapat diancam hukuman pidana penjara, lantaran merupakan perbuatan tindak pidana pemilu.

Yang menjadi dasar dari alasan pemidanaan pelaku yang mengajak golput, masih didasarkan pada Undang-undang Pemilu pada pasal 292 dan 308 UU 8/2012 yang intinya menyebut tindakan sengaja menghilangkan hak memilih, penggunaan kekerasan, menghalangi serta kegiatan yang mengganggu penggunaan hak pilih orang lain masuk kategori pidana.

Apakah kampanye golput masuk pada kategori menghilangkan hak memilih. Ray Rangkuti menelaah pemahaman terhadap pasal tersebut bukan pada kategori ajakan golput. Menurutnya, “tak ada bunyi yang secara tegas menyatakan bahwa kampanye dan ajakan golput merupakan sebuah tindakan pidana”. Analisa Ray Rangkuti bahwa pasal tersebut tidak bisa diterapkan sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku kampanye golput adalah pertama, dua pasal itu jelas mensyaratkan adanya tindakan kekerasan, gangguan bagi pelaksanaan tahapan, serta upaya menghilangkan hak pilih orang lain dengan cara mengakibatkan gugurnya syarat pemilih. golput sendiri sejauh ini dinyatakan tidak haram dalam pemilu Indonesia. Maka tindakan yang tidak dilarang sejatinya tidak menimbulkan efek hukum pidana. Kedua, makna kampanye dan ajakan adalah upaya mempengaruhi orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cara persuasi.

Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, mengatakan bahwa hak politik warga negara tidak boleh diancam dengan hukuman pidana. “Tingkat partisipasi memilih cenderung menurun karena ketidakpercayaan masyarakat meluas,”. Pernyataan yang menurut saya cukup bisa dijadikan acuan bukan hanya bagi wakil rakyat, tapi bagi seluruh pemangku kekuasaan untuk mencoba introspeksi diri, apa yang seharusnya dilakukan ketika amanah sudah diberikan.

Selain itu, pengharaman GOLPUT berdasarkan fatwa MUI bukan pada tidak menyalurkan atau mengajak orang untuk golput. Tapi lebih kepada fenomena yang merebak di masyarakat, dimana GOLPUT menjadi Golongan Pencari Uang Tunai. "Ada golput lain, tentang risywah soal politik uang, dimana golput adalah golongan penerima uang tunai, maka itu haram," katanya Din Syamsudin. Menurut Din, MUI hanya memfatwakan wajib coblos dalam Pemilu, golput atau golongan putih tidak diberi fatwa, yang ada soal memilih Itu wajib.

Fakta kenaikan partisipasi golput dari pemilu ke pemilu meningkat. Menurut sumber yang didapatkan Penulis, ternyata angka Golput sejak Pemilu 1971 dilaksanakan hingga 2009 mengalami kenaikan yang signifikan. Pada Pemilu 1971 : 6.64 %, 1977 : 8.40 %, 1982 : 8.53 %, 1987 : 8.39%, 1992 : 9.09 %, 1997 : 9.42 %, 1999 : 10.21 %, 2004 : 23.34 %, 2009 : 39.1%.

Kenapa Harus Khawatir dengan GOLPUT

Ada tulisan ust. Ustad Hepi Andi yang bisa disimak dengan judul Mengapa Tidak Boleh Golput?. Beliau menuliskan beberapa alasan kenapa tidak boleh golput.

Sah tidaknya Pemilu tak ditentukan seberapa banyaknya jumlah golputer. Misalnya, jumlah anggota WNI yang berhak memilih 150 juta jiwa, tapi realitasnya yang memilih hanya 60 juta orang, sedangkan yang golput sebanyak 90 juta orang. Maka, PEMILU TETAP berlangsung dan SAH! Jadi, golput tidak punya kekuatan.
Terpilih tidaknya seorang CALEG menjadi anggota dewan tak terpengaruh dan TIDAK PULA ditentukan oleh suara golput, tetapi berdasarkan suara terbanyak dari pemilih sah. Misalnya, jumlah anggota DPR yang ditetapkan 500 orang. Jumlah anggota DPR itu akan tetap terpenuhi meskipun jumlah rakyat pemilih hanya 60 juta atau bahkan hanya 10 juta orang. Di sini golput juga tidak ada efeknya.
Jumlah orang yang golput itu SAMA SEKALI TIDAK DIPERHITUNGKAN keberadaannya dalam UU Pemilu. Dengan kata lain: jumlah suara golput sebanyak 10.000 orang itu misalnya, dianggap tidak ada, dan PASTI DIKALAHKAN dengan jumlah 500 orang yang memilih.
Suara golputer itu, realitasnya, tidak dapat menjadi solusi dan tidak punyai pengaruh apapun untuk kebaikan negeri ini. Hingga kini, golput tidak ada legalitasnya yang mampu menuntut sah atau tidaknya hasil pemilu. Golput juga tidak bisa menurunkan atau mengangkat seorang presiden atau kepala daerah terpilih.
Golput itu umumnya bukan dari pemikiran rasional tapi emosional. Biasanya mereka yang golput itu akibat rasa kecewaan, pesimis, putus asa dan apatis terhadap keadaan negeri ini. Bahkan, apatis (tidak peduli) bila negara dan bangsa ini dikuasai/dijarah oleh para penjahat.
Dengan sistem dan peraturan UU Pemilu yang ada, salah satu yang diinginkan oleh para koruptor itu adalah: semakin banyak anggota masyarakat yang memutuskan untuk golput, agar mereka lebih mudah menjadi anggota dewan dengan ‘money politic’.
Sikap golput ini akan makin berbahaya jika yang golput adalah orang-orang shalih dan baik. Sebab, ketidaksertaan mereka dalam Pemilu akan menambah sedikit dukungan untuk orang baik-baik di panggung kekuasaan. Jika orang-orang baik itu semakin sedikit, maka peluang para koruptor dan penjahat akan semakin mudah melenggang kepanggung kekuasaan. Misalnya, jika anggota dewan itu seharusnya 500 orang, maka kalau jumlah orang baik-baik hanya 100 orang, secara otomatis orang tidak baik itu menjadi 400 orang.
Jika alasan golput karena sistem yang ada sekarang tidak sesuai dengan ajaran Islam, justru peluang untuk mengubah undang-undang itu ada di parlemen dan panggung kekuasaan.

Bukan Sekedar Perbaikan Sistem

Golput sudah seharusnya tidak menjadi polemik dalam sistem pemilihan umum negara ini. Jika saja, penyelesaian permasalahan dapat dilakukan secara komprehensif langsung fokus masalah penyebab golput. Faktor penyebab golput harus diidentifikasi, dan penyelesaiannya tidak dapat diterapkan secara universal hany dengan sosialisasi dan iklan politik saja. Terlepas siapa calon anggota legisatif mendatang dan calon presidennya, setiap orang yang terdaftar dalam DPT wajib untuk memilih.

Bahwa fenomena pergeseran makna golput dari makna abstain memberikan hak suara kepada makna Golongan Penerima Uang Tunai, tidak bisa juga divonis haram. Semua bermula pada kondisi yang menciptakan demikian. Sistem Pemilu boleh jadi sudah memasang rambu-rambu apa saja yang boleh dan tidak boleh. Tapi tingkah laku dan polah para wakil rakyat hasil dari pemilu yang kemudian menjadi representasi suara rakyat di lembaga Legislatif jauh lebih banyak mencerminkan ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu yang cenderung korup.

Banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, tapi bukan hanya sekedar pada sistem. Perbaikan paling utama adalah pada uji kelayakan dan kepatutan SDM anggota legislatif dari sisi akhlak.

Sumber :
Indonesia 2014, Detik News, Kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar