INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

22 Maret 2012

Fenomena Politik Kaum Minoritas; Pemilukada DKI Jadi Pioneer

Munculnya Pasangan Jokowi - Ahok sebagai Cagub/Cawagub DKI Jakarta pada Pemilukada 2012, boleh jadi merupakan bentuk demokrasi paling menarik. Betapa tidak, hampir semua semua media menyoroti baik media cetak, media televisi dan berita online menyoroti pencalonan Jokowi - Ahok ini, Betapa tidak, dengan headline yang sama "munculnya politik kaum minoritas" diusung sebagai judul utama menyoroti kedua pasangan cagub dan cawagub ini. Fenomena ini tidak lepas memunculkan dua sisi antara pro dan kontra, antara menghujat dan mendukung, antara memberikan statement dan mempertanyakan.

Jika kita bergeser sedikit ke masa Pemerintahan Gusdur (alm), boleh jadi fenomena munculnya kelompok minoritas (kaum tionghoa) tidak lepas dari kebijakan yang dikeluarkan Gusdur sendiri. Dari sini, kemudian banyak bermunculan aktivitas baik budaya maupun politisi (salah satunya Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan sapaan Ahok.


Satu hal yang paling menarik yang saya lihat, fenomena kemunculan Ahok (mewakili politisi kaum minoritas) yang paling utama bukan dari minoritasnya semata, tapi dari wilayah mana dia muncul. Ahok saat berkarir hingga menjadi Bupati Belitung Timur atau sebagai Anggota DPR aktif saat ini (hingga 2014) tidak banyak dikenal oleh masyarakat. Justru, fenomena ekspos yang muncul adalah ketika mencalonkan diri menjadi Wagub DKI berpasangan dengan Jokowi (ini juga bisa dikatakan mewakili kelompok minoritas). Dengan kata lain, jika bukan DKI yang jadi pilihan tempat pencalonan orang nomor 1 di wilayah, mungkin saja tetap tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Inilah kenapa ketika seseorang menjadi Gubernur/Wagub DKI dianggap sebagai RI 3.

Selain itu, Seperti ditulis oleh Kuncoro Aldi, Ada beberapa alasan kenapa saya mengatakan demikian.

Pertama, Jokowi-Ahok adalah representasi Pri – non Pri.

Ini menarik. Jokowi yang wong Jowo asli (mewakili kelompok pribumi), berpasangan dengan Ahok yang adalah keturunan Tionghwa (mewakili kelompok non pri). Ini adalah fenomena baru. Sepanjang yang saya tahu fenomena ini belum pernah terjadi di Indonesia.
Nah, sebagai sebuah fenomena baru, tentu menarik untuk diamati apakah pasangan ini benar-benar mampu menarik suara dari kelompok pri dan non pri ?

Kedua, Jokowi-Ahok merupakan representasi Mayoritas – minoritas.

Jokowi yang Jawa jelas mewakili kelompok mayoritas masyarakat Indonesia. Sementara itu, Ahok yang Tionghoa mewakili kelompok minoritas yang selama ini menjadi “massa diam” yang hanya dijadikan obyek selama pilkada maupun pemilu. Saya menduga, banyaknya suara golput dalam pilkada Jakarta masa lalu berasal dari kelompok ini yang enggan mengunakan suaranya karena merasa tidak terwakili.

Ketiga, Jokowi-Ahok merupakan representasi pluralitas Indonesia.

Jokowi yang Islam berpasangan dengan Ahok yang Kristen, jelas fenomena menarik yang sangat langka (atau belum pernah ada ?) dalam konstelasi perpolitikan Indonesia.

Keempat, Jokowi-Ahok adalah representasi pemimpin yang Bersih, Transparan dan Perduli pada rakyat.

Dengan track record yang sama-sama “mentereng” ketika memimpin daerahnya, Jokowi-Ahok merepresentasikan birokrat yang ideal, yang bekerja sepenuh hati untuk mensejahterakan rakyatnya.

Nah, mempertimbangkan semua kelebihan di atas saya kita peluang Jokowi-Ahok untuk memenangkan pertarungan kursi DKI 1 dan 2 sangat terbuka lebar.
Saingan berat, masih dari incumbent. Fauzy Bowo tentu sudah mulai kampanye terselubung sebelum start kampanye dimulai. Ini merupakan keuntungan semua incumbent. Lalu, isu orang daerah dan anak betawi asli pasti diusung oleh tim kampanye Fauzy Bowo. Kalau sudah begini, maka yang terjadi nanti adalah pertarungan antara ikatan primordial (menguntungkan Fauzy Bowo-Nono) dan penilaian rasional (ini jelas berpihak pada Jokowi – Ahok).

Fenomena ini memang memunculkan spekulasi bahwa 50% pemilih Golput DKI pada pemilu tahun 2008 lalu akan berkurang dan mendukung pencalonan Jokowi-Ahok. Emosional primordialis akan nampak tergerus oleh konspirasi rasional dalam menentukan pilihan. Jakarta memang harus mampu mencitrakan demokrasi yang lebih transparan, siapapun dan dari manapun asal mereka yang akan memimpin Ibu Kota.


Untuk tau lebih banyak apa dan bagaimana kiprah Jokowi dan Ahok, Hadirilah gelar DIALOG KEBANGSAAN di STAIN Jurai Siwo Metro Tanggal 24 Maret 2012.

0 komentar:

Posting Komentar