INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

23 Februari 2012

Isu Jender Dalam Hukum Adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris)

Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.

Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Dalam tulisan ini yang akan dibahas dalam kaitan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris.

Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.

Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :

  1. Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lalin-lain.
  2. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan (ibu), sistem ini dianut di Sumatra Barat (daerah terpencil).
  3. Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu), sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.

Walaupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki.

Sistem kekerabatan matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat di mana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan (ibu) akan tetapi kekuasaan bukan berada di tangan perempuan namun tetap berada di tangan laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak kepala waris adalah dijabat oleh laki-laki yakni laki-laki tertua. Oleh karenanya dalam sistem kekerabatan matrilinial kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender di dalamnya.

Dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama kelaurga karena dalam perkawinan jujur (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat.

Pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga “sentana rajeg” di mana anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki. Dan yang lebih patal adalah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak terbatas, sehingga untuk menghindari adanya poligami maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan nyeburin.

Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedangkan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki) tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya.

Anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg sudah tentu berbeda dengan kedudukan anak perempuan pada umumnya, oleh karena demikian justru dengan adanya lembaga sentana rajeg ini malahan memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan. Disamping itu dengan adanya proses perkawinan nyeburin untuk memberikan status yang sama terhadap anak perempuan dengan status anak laki-laki malah justru memperkuat dan mengajegkan sistem kekerabatan patrilinial yang menempatkan laki-laki pada posisi dan kedudukan yang sangat tinggi dan pada akhirnya tetap terjadi diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam masyarakat Bali yang mengenal lembaga sentana rajeg, perlu dipertanyakan apakah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg?. kenyataannya belum tentu bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan tersebut. Hal ini seperti telah diuraikan diatas di mana dalam sebuah keluarga yang mempunyai anak perempuan yang berstatus sentana rajeg, di mana yang mewakili keluarga sebagai anggota banjar, anggota desa adat, rapat-rapat keluarga, adalah tetap laki-laki yang kawin dengan anak perempuan yang berstatus sentana rajeg tersebut bukan perempuan yang berstatus sentana rajeg. Karena laki-laki yang mewakili sebagai anggota keluarga dalam segala urusan keluarga maka laki-lakilah yang ikut dalam segala pengambilan keputusan, maka laki-lakilah kembali yang memegang peranan atau tetaplah kekuasaan berada di tangan laki-laki. Jadi tetap terjadi sub-ordinasi terhadap perempuan dan terdapat isu gender di dalamnya.

Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental seperti yang dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya pada prinsipnya menempatkan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dalam hal mewaris. Semua anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu sama-sama sebagai ahli waris. Apabila diperhatikan lebih jauh dalam pembagian harta warisan justru terdapat sub-ordinasi dan dikriminasi terhadap anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 yang dalam istilah adat dikenal dengan isilah “sepikul segendong”. Kalau dilihat dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat tetap berada di tangan laki-laki oleh karena demikian idiologi patriarki tetap nampak pada masyarakat yang parental. Oleh karena demikian dalam masyarakat yang parental tetap terdapat bias gender.

0 komentar:

Posting Komentar