INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

10 Juni 2012

Karakter Bangsa Dan Ideologi “WANI PIRO?”


Ingat iklan sebuah produk Rokok yang sok-sok an membantu tapi ujungnya minta pelicin?. “Pengen sogokan hilang dari muka bumi”, kemudian dijawab :”itu bisa diatur, wani piro?". Meskipun tidak ada hubungannya antara rokok dengan kalimat tersebut, dialog tersebut memiliki sebuah makna alias sindiran terhadap perilaku masyarakat mulai dari pejabat pemerintah sampai masyarakat biasa yang selalu UUD (ujung-ujungnya duit). Setanlah yang biasanya merayu manusia untuk melakukan kesalahan termasuk suap/korupsi, lantas bagaimana kalau setan yang meminta suap? Setan sudah kehilangan pekerjaan dan berekspansi dengan pekerjaan manusia karena pekerjaannya banyak yang telah diambil alih oleh manusia, Naga Bonar bilang “Apa Kata Dunia?” Tulisan ini menjadi bagian dari KEGALAUAN saat menyimak hasil seminar internasional "Character Building; Problems, Implementation and Solutions". Tiga guru besar bertaraf internasional berbicara di sana tentang apa dan bagaimana membangun karakter.

Wani piro atau berani berapa, tentu maksudnya adalah uang. Untuk apa? Jawabannya kepentingan. Kepentingan manusia mulai dari urusan perut sampai urusan prestise dan aktualisasi. Urusan perut teradi pada saat kita pergi ke pasar dengan kepentingan untuk membeli kebutuhan pokok, terjadi tawar menawar yang alot dan biasanya diakhiri dengan kalimat, ya sudah Anda berani berapa? Praktek wani piro di sini tentu tidak mendatangkan masalah karena dilakukan terbuka dan tidak ada pihak yang dirugikan. Praktek wani piro yang merugikan terjadi guna melancarkan sesuatu urusan/masalah meskipun awalnya tersumbat. Anda punya urusan baik bisnis, masalah hukum, pajak, sampai urusan sepele kuncinya adalah duit, dengan fulus semua menjadi mulus. Praktek wani piro ini terjadi di semua lembaga pemerintahan baik di eksekutif, legislative maupun Judikatif. Berapa banyak gubernur,walikota, bupati, anggota DPR/DPRD, jaksa, hakim dan pengacara yang masuk penjara karena persoalan uang. Coba lihat satu kasus saja yaitu kasus Gayus Tambunan, bermula dari hanya urusan pajak kemudian melebar dan menyeret pejabat di lembaga penegakan hukum. Dari institusi kejaksaan, kasus gayus menyeret nama Cirrus Sinaga begitu juga di kepolisian menyeret nama Arafat Enanie dan Kompol Iwan Siswanto. Pengacara Gayus yaitu Haposan Hutagalung juga ikut terlibat dan korps majlis hakim diwakili oleh hakim Asnun. Semua pihak tersebut pada awalnya hanya bertanya wani piro pada Gayus dan dijawab dengan milyaran rupiah oleh Gayus. Hal itu juga berlaku terhadap sumber uang Gayus yang berasal dari permainan pajak Gayus dengan perusahaan-perusahaan yang bermasalah dengan pajak.Bahkan, parahnya lagi, gaya yang ditirukan pemeran iklan wani piro berbuntut juga pada sedikit saja kekuasaan seseorang, langsung pasang badan. Para penjumput uang kebersihan di pasar saja, berani menekan pedagang kaki lima untuk ngatur cicilan lapak trotoar hanya berbekal kata, "wani piro...?" Separah itu kah...?

Betapapun saat ini ada banyak kasus yang saling lempar batu sembunyi tangan (kadang lempar baju sembunyi di taman) semakin memperkuat keyakinan di mata masyarakat. Keyakinan semua masyarakat Indonesia adalah, bahwa kasus Gayus serta kasus-kasus lainnya yang terungkap hanyalah fenomena gunung es, masih terlalu banyak praktek wani piro yang tidak terungkap atau tidak akan pernah terungkap. Pelaku yang tertangkap hanya sedang sial atau ditumbalkan oleh atasannya untuk menutupi sindikat yang lebih besar lagi. Hal tersebut diperkuat oleh kasus Nazaruddin, kalau nyanyiannya itu merdu dan itulah fakta sebenarnya tentu sangat mengerikan karena pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pada saat wawancara via skype dia sedikit menjelaskan kasus-kasus lain selain wisma atlet dan hambalang, meskipun dia enggan menyebutkan siapa saja mafia di dalamnya. Kengerian ini tentu tidak hanya para pihak yang terlibat tetapi juga pada scenario memuluskan kepentingan tersebut dari hulu sampai hilir termasuk manajemen resikonya, siapa yang ditumbalkan dan diselamatkan?. Kasus Nazaruddin adalah urusan duit yaitu pembagian proyek-proyek APBN, mau menang tender syaratnya si A dapat berapa, B berapa dan seterusnya, semakin tinggi dan pentingnya seseorang maka semakin besar uang yang harus disetorkan. Urusan Nazaruddin juga nyerempet ke kongres partai Demokrat, dimana pengakuannya bahwa Anas Urbaningrum tidak mungkin menang tanpa duit sekitar $ 20 juta US yang bersumber dari APBN. Belum lagi kasus Hambaalang yang saat ini mencuat.

Fenomena Wani piro tidak hanya menjadi kanker pemerintahan pada stadium 4 atau kritis, tetapi lebih dari itu, wani piro sudah menjadi idiologi di tengah-tengah pudarnya idiologi Pancasila. Lima sila yang digali dan dirumuskan oleh Bung Karno betul-betul hanya menjadi hiasan di dinding sekolah dan kantor pemerintahan. Tindakan-tindakan melanggar hukum seperti korupsi adalah tindakan yang tidak mencerminkan seseorang mengamalkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Keyakinan seseorang terhadap Tuhan seharusnya dapat menjadi lampu merah di dalam hatinya untuk tidak melakukan korupsi. Bagi yang masih percaya Tuhan seharusnya malu kepada RRC yang komunis yang katanya tidak bertuhan, mereka sangat ketat dalam urusan tindakan korupsi sampai di hukum mati (terakhir RRC menghukum mati 2 orang pejabat korup). Indonesia, adakah koruptor yang dihukum mati? Rasa-rasanya masih jauh, dimajukan ke persidangan saja berbelit-belit, meskipun dihukum masih dapat fasilitas di dalam penjaranya. Suap, gratifikasi atau korupsi adalah bentuk-bentuk perbuatan seseorang yang beridiologi wani piro. Idiologi ini terbentuk akibat semakin sistematisnya pengaruh gurita kapitalisme di Indonesia, hasilnya semua dapat diukur dengan fulus. Idiologi wani piro, hanya mempunyai satu-satunya sila yaitu sila Keuangan Yang Maha Kuasa, selanjutnya bisa diatur. Pengikut idiologi ini menempatkan uang sejajar dengan sila pertama pancasila yaitu Tuhan. Di dalam pandangannya, Tuhan hanya bersifat abstrak yang kekuasaannya hanya terbatas pada urusan-urusan akhirat, tetapi di dunia nyata perannya diganti oleh Uang yang kekuasaannya meliputi semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara

Dari Ungkapan Walfajri (salah satu peserta seminar) saat menanggapi para pemateri dengan konstalasi Idiologi wani piro setidaknya dapat saya ambil benang merah bahwa makna di balik kata wani piro mempunyai empat karakteristik. Pertama; materialistic. Di dalam pikiran Pengikut idiologi ini hanya satu yaitu uang. Sekolah, bekerja dan melakukan aktivitasnya hanya berorientasi pada uang semata bukan sebagai ibadah dan mencari keridhoan Tuhan. Harapan dibentuk oleh uang bukan oleh dorongan jiwa dan tekad serta konsitensi yang sangat kuat, ada uang seperti punya segalanya, tidak punya uang seperti tidak punya harapan apapun. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan uang, tetapi sudut pandang dan perlakuan terhadap uang yang harus dirubah dengan tidak menempatkan di atas segalanya. Karakteristik yang kedua yaitu bekerja dengan pamrih. Membantu seseorang akan dilakukannya apabila ada uang masuk ke rekening pribadinya atau ada balas jasa. Termasuk dalam mendukung seseorang untuk suatu posisi, tidak berdasarkan kepribadian, track record, dan program yang ditawarkan tetapi berdasarkan jumlah rupiah yang paling besar alias wani piro. Karakter yang Ketiga adalah selalu menyepelekan masalah. Dalam pandangannya jangan terlalu takut dan risau dengan permasalahan meskipun berhubungan dengan hukum atau penjara.

Keyakinannya adalah semua masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat dengan uang. Faktor uang menjadi solusi dari semua persoalan meskipun sebenarnya tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan uang. Masih terngiang di kuping saya saat dalam sebuah perjalanan, rekan saya menerobos traffict light yang seharusnya berhenti. Saat kekhawatiran muncul dalam diri saya karena takut ditilang, dengan entengnya dia menjawab "jangan terlalu pelit lah, paling cuman gocap (lima puluh ribu rupiah) untuk sekali pelanggaran". Saya betul-betul tercengang mendengarnya, banyak makna dari kalimat tersebut tapi satu diantaranya adalah orang tersebut jelas menyepelekan masalah dengan uang meskipun sedang berurusan dengan polisi dan penegak hukum lainnya. Karakteristik yang keempat dari idiologi wani piro yaitu berorientasi hasil. Sepatutnya manusia hanya berada di dalam wilayah proses, tetapi idiologi ini menyebabkan manusia sibuk untuk masuk pada wilayah hasil. Proses tidak lagi menjadi sebuah substansi dari sebuah perjuangan yang bernilai besar dalam menggapai sesuatu. Oleh karena hasil yang dipikirkan, maka apapun akan dilakukan demi mencapainya termasuk memakai jalan pintas. Mau jadi PNS tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan soal ujian CPNS dengan benar, katanya cukup dengan menyediakan uang sedikitnya 120 juta saja.

Masalah suap menyuap bukan lagi menjadi karakter individu tetapi lebih ke masalah sosial bawaan sistem yang diterapkan oleh negara ini. Demokrasi yang diterapkan negara ini telah menyuburkan karakter suap menyuap ini. Coba kita hitung harga politik yang menyebabkan suap menyuap ini menjadi subur. Untuk mendudukkan seseorang atau partai berkuasa membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Ingin menjadi bupati saja bisa menghabiskan bermilyaran rupiah apalagi selevel provinsi atau pusat. Oleh karena itu, individu atau partai tersebut membutuhkan sponsor yang kuat dari pihak swasta yang kita kenal dengan pengusaha baik dalam maupun luar negeri. Dari jalinan inilah tercipta simbiosis mutualisme. Ketika partai atau individu itu telah menjabat, maka anggaran negara menjadi sasaran untuk“kongkalikong” yang akhirnya terkuak dalam kasus-kasus korupsi dan suap menyuap. Entah pada bagian mana kita dapat memotong idiologi wani piro sehingga tidak terus-terusan merusak pola fikir masyarakat. Perlu keputusan politik yang komprehensif yang mencakup kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Penegakan hukum menjadi kunci meredam idiologi wani piro dalam konteks masalah pelanggaran hukum seperti suap dan korupsi. Pendekatan agama dan budaya berada pada wilayah mereorientasi pola fikir masyarakat terutama dalam menjalani hidup di bumi ini.

Bisa jadi, ketidakadilan terhadap masyarakat kecil disebabkan karena mereka tidak bisa menjawab pertanyaan wani piro?

Pandangan Islam

Dalam Islam, ideologi wani piro tak jauh dari pengertian risywah. Risywah secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan. Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khsusus istilah sogokan atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan Al-Quran yaitu `akkaaluna lissuhti` sebagai risywah atau sogokan.

Tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya suap (risywah). Dari Tsauban ra, Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya. (HR. ahmad). Negara berhak memberikan hukuman yang berat guna memberikan efek jera bagi pelaku suap menyuap. Selain penerapan dari segi formal konstitusi, hukum Islam perlu dijadikan landasan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok di masyarakat. Karena mereka juga lah yang akan menjadi penopang dan pengawas dari penegakan hukum.

Lemahnya pengawasan masyarakat terhadap penegakan hukum positif yang diberlakukan di negara ini, karena mayoritas masyarakat kita “buta” hukum. Mereka akan mengerti jika ternyata melanggar atau ada peristiwa yang diangkat ke ruang publik dan melibatkan hukum. Tetapi coba bandingkan jika hukum Islam yang diterapkan, mayoritas umat Islam telah mempelajari sumber hukum Islam sejak dini (kecil) dengan mempelajari Al Quran dan sunnah. Pendidikan hukum Islam akan lebih mudah dilakukan dibandingkan hukum konstitusi Belanda yang dianut oleh bangsa ini. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam tentu akan lebih baik jika negara mengadopsi hukum-hukum Islam. Inilah salah satu solusi untuk menghilangkan penyakit suap meyuap dalam masyarakat yaitu dengan penerapan Islam.

Wani Piro, jangan pernah jadi guyonan apalagi dilaksanakan....

--------Best Regard----------


---Aghaku---

Sumber 

1. Fikri Habibi
2. Rahmat Blog
3. Ayok

0 komentar:

Posting Komentar