INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

26 Februari 2012

Mahkamah Konstitusi Menjawab Kerinduan Anak Pada Ayah

Perkawinan merupakan ikatan yang sakral (yang dalam bahasa Alqur'an, mîtsâqan ghalîzha). Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 dikatakan bahwa “Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîdzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Sedangkan pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tentunya banyak komitmen yang disepakati untuk kebaikan mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Diantara tujuan pernikahan adalah menyambung keturunan

Beberapa hal yang terkait dengan lahirnya UU 1/74 pada saat itu antara lain melindungi hak perempuan dari kesemena-menaan kaum adam, apakah itu poligami, tindakan perzinaan, pencatatan anak yang syah dan martabat wanita. Sejatinya, tujuan mulia dari diberlakukannya undang-undang perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Pada kenyataannya, pengaruh sosial, budaya dan ekonomi ternyata tidak mengurangi tindakan melawan hukum seperti perzinaan dan nikah siri, sehingga akibat yang muncul kemudian adalah status terhadap anak yang dilahirkan. Pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena itu akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, dengan demikian hak dari anak tidak dapat diperoleh dari ayah anak tersebut, seperti hak waris, wali, nafkah lahir dan batin.

Ceritapun menjadi berubah. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 Perihal Uji Materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, keadaan tersebut berubah 180 derajat. Anak yang sebelumnya tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dengan putusan ini menjadi memiliki hubungan perdata dengan ayahnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain. "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata memiliki hubungan darah sebagai ayahnya," Kata Mahfud MD.

Putusan ini berawal dari permohonan uji materi (judicial review) mantan istri siri Moerdiono (mantan menteri sekretaris negara) Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha binti Haji Mochtar Ibrahim dan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, atas UU No. 1 tahun 1974 terkait pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pasal 43 ayat (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, terhadap UUD 1945.

Sebagai pertimbangannnya adalah anak tersebut tidak memiliki kesalahan dan ang salah adalah orang tuanya, dan tidak mungkin seorang anak lahir tanpa ada hubungan dari seorang laki-laki. Dan tidak adil jikalau laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab terhadap anak tersebut dibebaskan dari kewajibannya. Dengan kata lain penekanannya pada semangat perlindungan anak yang lahir karena perkawinan tidak tercatat secara sah. Dari sinilah MK dalam keputusannya menetapkan bahwa Anak yang lahir dengan pernikahan syah di luar Undang-undang, memiliki hak untuk mendapatkan Bukti Akta Kelahiran dan memiliki hubungan perdata dengan ayah.

Silang pendapat (concuiring opinion) bermunculan. Ada yang menilai bahwa keputusan MK ini justru akan semain melegalkan segala bentuk perzinahan, atau memberikan kesempatan lebih kepada laki-laki berkantong tebal dalam melampiaskan hawa nafsunya. Makruf Amin (Ketua MUI) mengatakan bahwa putusan MK itu positif jika niatnya untuk melindungi anak-anak hasil nikah siri. Untuk masalah perlindungan anak, dia menegaskan jika para ulama kompak mendukung anak memiliki hak perdata kepada pihak ibu dan bapak. Namun demikian, ada baiknya jika putusan MK itu terbatas pada yang sudah menikah siri saja. Sedangkan anak yang lahir karena hubungan badan di luar pernikahan tetap tidak diberi keistimewaan.

Pasal 6 ayat (1-6) dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) boleh jadi disepakati terhadap syarat syahnya perkawinan. Tapi multi tafsir justru terjadi pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (2) dalam UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas, karena tidak ada penegasan apakah dia mempengaruhi sah atau tidaknya pernikahan atau hanya sebagai kewajiban administrasi.

Melihat kedua teks pasal ini dapat jelas bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan agama masing-masing. Namun ketika melihat ketentuan ayat (2) para pakar berbeda pendapat apakah dia termasuk dari penentu sah atau tidaknya sebuah pernikahan, atau dia hanya sebagai kewajiban adiministrasi. Kontoversi disini bisa terjadi akibat penggabungan ayat (2) dalam satu pasal yaitu Pasal (2).

penjelasakan umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,

"...bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peritiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.” Lebih lanjut mahkamah menjelaskan bahwa berdasarkan penjelasan UU 1/1974 di atas nytalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan".

Dengan demikian bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan bagian dari penentu sah atau tidaknya ikatan perkawinan, tapi, hanya sebagai kewajiban administratif saja. Mahkamah melihat dari dua perspektif. Pertama; dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberi jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum demokratis. Dan kedua; pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, yang kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti sempurna dan bukti autentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien.

Sadar atau tidak, menurut salah satu hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, keberadaan pasal 2 ayat (2) tersebut berpotensi merugikan anak. Sebab, keberadaan pasal itu justru menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Padahal anak tidak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Padahal, hukum negara maupun hukum agama tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan dosa turunan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya tersebut. Artinya, kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU itu semestinya risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.

Terlepas dari munculnya silang pendapat dari keputusan tersebut, Abdul Karim Munthe makamah konstitusi mengambil langkah yang sangat progresif dan mengobah pandangan yang selama ini bahwa anak sah hanya dibuktikan dengan bukti perkawinan saja, tidak melihat pembuktian melalui alat teknologi atau bukti lain yang memiliki kekautan hukum. Melihat dari putusan ini bahwa mahkamah konstitusi melihat aspek sosilogi, berbeda dengan sebelumnya tidak melihat sama sekali. Dan jikalau kita melihat putusan ini tampak jelas bahwa putusan ini mangakomodir kepentingan dari anak, disamping juga pertimbagan atas pasal 28B ayat (1) dan (2) dan juga pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana bahwa mahkamah konstitusi berwenang menguji UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Namun hal ini tidak lantas bebas dari kritikan sebab dengan adanya putusan ini tidak hanya anak yang lahir dari pernikahan dibawah tangan yang memiliki hubungan perdata dengan ayahnya tapi juga terhadap anak yang dilahirkan dari hasil zina. Dan ini menuai kontroversi khususnya dikalangan muslim yang mengganggap bahwa anak yang dihasilkan dari perzinahan tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.

Bagi penulis bagi mereka yang menolak putusan dengan mengatakan bahwa ini berarti melegalkan perzinahan, alasan ini penulis kira tidak cukup beralasan, sebab tanpa putusan inipun perzinahan tetap ada dan tidak ada kaitannya dengan adanya putusan ini. Dan putusan ini bagi penulis tidak meningkatkan potensi perzinahan, bahkan boleh jadi mengurangi, karna pada umumnya laki-laki yang melakukan zina adalah mereka yang tidak bertanggung jawab, dengan adanya putusan ini bahkan seharusnya dapat mengurangi angka perzinahan.

Akhirul kalam, bahwa sepertinya UU No 1 Tahun 1974 ini sudah selayaknya mendapatkan perhatian untuk segera direvisi, terutama pada pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran ambigu. Sehingga sekecil mungkin bisa menimbulkan kesalahan persepsi.



0 komentar:

Posting Komentar