INFO ANYAR | UAS Mata Kuliah Hukum Bisnis dilaksanakan tanggal 10-06-2016 pukul 14.00 - 15.30 | RKAKL Online Klik Disini | Chek in Online Garuda Klik Disini | Cek Garuda Miles Klik Disini | Materi MK Hukum Bisnis, Lihat Pada Menu Materi Kuliah Hkm. Bisnis |

14 Februari 2012

Arah Politik Hukum Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Perbincangan mengenai Perlindungan Saksi dan Korban (PSK), mulai ramai kembali menjadi bahasan yang aktual. Setidaknya, undang-undang ini mencuat semenjak banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan banyak pihak dan saling ”menyerang” bahkan mengancam. Kasus korupsi wisma atlet dan Hambalang merupakan satu dari sekian kasus yang bukan rahasia lagi menelanjangi kebobrokan moral dan hukum para pembesar di Negeri ini. Belum lagi kasus mafia pajak, kasus cek pelawat dan sebagainya.
Boleh Jadi, masyarakat buta hukum yang tidak tahu akan keberadaan undang-undang ini. Sehingga tidak sedikit, banyak masyarakat yang buta hukum, yang semula posisinya menjadi saksi berbalik arah menjadi tersangka. Apakah bagi kebanyakan masyarakat dengan adanya undang-undang ini merasa terlindungi, jawabnya belum tentu. Seh=jak diudangkan, sudah ada kurang lebih 17 peraturan pelaksana terhadap Undang-undang PSK ini, baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan yang dikeluarkan oleh LPSK sendiri. Bahkan, Pada Agustus 2011 pernah dilakukan Pembahasan Penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis UU PSK) pada awalnya adalah amanat yang didasarkan kepada TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban.
Seperti yang sudah diketahui, untuk mencermati arah politik hukum dari UU PSK ini maka perlu dilihat beberapa ketentuan yang mengarah kepada politik hukum baik yang bersifat positif (responsif) maupun yang bersifat negative (konservatif), antara lain sebagai berikut;
Arah politik hukum yang bersifat positif (responsif) yang tertuang di dalam UU PSK :
  1. Dengan disahkannya UU PSK ini, adanya suatu peraturan yang mengakomodasi perlindungan (payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, yang mana sama-sama kita ketahui bahwa saksi dan korban menjadi elemen penting untuk membantu tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem peradilan terpadu (integrated justice system).
  2. UU PSK tidak saja sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan saksi dan korban, tetapi juga diberikan sarana perlindungan yang sama terhadap keluarga saksi dan korban. Hal ini memberikan dampak positif karena cakupan perlindungan tidak saja sebatas saksi dan korban melainkan juga terhadap keluarga saksi dan korban.
  3. Di dalam UU PSK ini terdapatnya materi pasal-pasal yang mengatur untuk dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis LPSK) (Pasal 11-27 UU PSK) yang akan melaksanakan tugas terhadap terpenuhinya hak-hak saksi dan pemberian perlindungan terhadap saksi. Dengan adanya LPSK tersebut diharapkan hak-hak saksi yang selama ini telah diatur secara normatif, dapat diwujudkan dalam praktiknya. Begitu juga terhadap saksi yang selama ini terkendala oleh tidak jelasnya lembaga yang akan dan bertanggung jawab melakukan perlindungan tersebut.
  4. UU PSK memberikan kejelasan dan kepastian tentang hak-hak saksi dan korban pada saat sebelum, sedang, dan setelah saksi dan korban memberikan keterangannya. Yang mana hal ini terdapat di dalam Pasal 5 samapi Pasal 10. Semua kejelasan yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut akan terealisasikan melalui LPSK.
Sedangkan Arah politik hukum yang bersifat negatif (konservatif) yang tertuang di dalam UU PSK :
  1. Sebagaimana yang terdapat dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) bahwa perlindungan saksi dan korban yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1) diberikan kepada saksi dan atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Di dalam penjelasannya memuat bahwa kasus-kasus tertentu itu antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Dari ketentuan tersebut kita dapat mencermati arah politik hukum dari UU PSK ini, bahwa ketentuan tersebut jelas merupakan diskriminasi, karena tidak semua hak yang diatur dalam pasal tersebut hanya dibutuhkan oleh saksi dan korban (tindak pidana tertentu), melainkan oleh semua saksi (dalam tindak pidana apapun). Diskriminasi tersebut dalam prakteknya akan semakin besar karena tidak ada kriteria baku yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini bagi LPSK, untuk menentukan keadaan seperti apa yang memperlihatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5.
  2. Kita ketahui bahwa poin-poin yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1) UU PSK yang mengatur mengenai hak-hak saksi dan korban yang diadopsi sebagiannya dari UU PSK negara-negara yang menggunakan sistem Anglo Saxon atau Common Law, salah satu contoh saksi dan korban berhak mendapatkan identitas, pekerjaan dan tempat kediaman baru akan tetapi sejauh ini di Indonesia poin-poin ini belum satupun yang terealisasi dalam melaksanakan perlindungan saksi dan korban. Hal tersebut dikarenakan belum terbentuknya LPSK itu sendiri dan belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari UU PSK ini. Pembentukan LPSK telah ditentukan di dalam UU PSK yaitu selambat-lambatnya satu tahun setelah UU PSK ini diundangkan (Pasal 45). Hal demikian terlihat jelas ketidak seriusan pemerintah di dalam memberikan perlindungan saksi dan korban yang sampai sekarang LPSK tak kunjung terbentuk.
  3. Berkenaan dengan hak, melihat kepada Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa : “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Menurut pasal ini bertentangan dengan ayat (1) nya, karena dengan ayat (2), seorang saksi akhirnya dijerat oleh hukum karena keterangan yang diberikannya tentang tindak pidana tersebut. Ketentuan ini juga berarti penggunaan saksi mahkota dalam pemeriksaan perkara tersebut. Hal mana bertentangan dengan asas “nonself incrimination” yang melarang penggunaan saksi mahkota dalam suatu due process of law. Ketentuan ayat (2) pasal tersebut dengan rumusan demikian, juga sulit untuk dimplementasikan, karena bagaimana pun bagi hakim di Indonesia, asas kebebasan hakim (kebebasan dalam koridor hukum) sangat dijunjung tinggi. Jika pasal itu hendak diterapkan juga, maka rumusannya haruslah dirubah menjadi “Keterangan saksi yang demikian wajib diperimbangkan oleh hakim sebagai salah satu hal yang meringankan pidana”.
  4. Berkenaan dengan perlindungan terhadap keamanan saksi ini, belum terdapat pengaturan yang rinci tentang bentuk perlindungan atau tindakan yang dapat atau harus dilakukan oleh LPSK untuk merealisasikan rasa aman tersebut. Misalnya untuk memberikan perlindungan tersebut LPSK dapat menempatkan saksi dalam program perlindungan saksi, yang isinya antara lain; mengajari saksi tentang cara membela diri dari serangan yang mungkin mengancam tanpa bantuan orang lain (petugas LPSK), menempatkan petugas untuk mengawasi saksi dan keluarganya, merahasiakan identitas saksi dan menyediakan pendamping atau penasehat hukum yang dapat mengawasi agar hak-hak saksi dalam pemeriksaan terpenuhi.
  5. Terkait dengan pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, kelemahan utama dari UU PSK ini adalah tidak mengatur kewenangan dari LPSK tersebut. Pasal 12 UU PSK menentukan bahwa “LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Tugas LPSK dalam undang-undang ini sangat umum, yaitu memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan atau korban. Hingga pasal terakhir dari undang-undang ini tidak ditemukan rincian tentang tugas dan kewenangan LPSK. Pasal-pasal selanjutnya dalam undang-undang ini hanya mengatur tentang tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK, pengambilan keputusan dan pembiayaan, syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, bahkan ketentuan pidana bagi yang mengancam atau memaksa saksi.
  6. Pasal 2 menetukan : “undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Pasal 8 kemudian menetukan: “perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berkahir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Pasal terkait dengan aturan ini adalah Pasal 32 ayat (1) yang mengatur tentang penghentian perlindungan atas keamanan saksi dan korban. Dari pasal-pasal tersebut tidak jelas, sampai proses peradilan yang mana pemberian perlindungan itu dapat dilakukan. Apakah bila perkara pidana terkait telah ada putusan hakim, perlindungan masih dapat diberikan atau harus berakhir. Hal ini perlu diatur secara tegas agar tidak menimbulkan penafsiran yang akan merugikan atau membahayakan saksi (korban), karena meski putusan hakim sudah ada dan pelaku sudah berada di Lembaga Pemasyarakatan, tidak dengan serta merta saksi terbebas dari ancaman atau bahaya.
  7. Pasal 7 menentukan adanya hak korban melalui LPSK untuk mengajukan ke pengadilan atas hak kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan hak atas ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Ketentuan ini perlu dicermati lebih jauh, karena dapat berimplikasi mengurangi hak korban. Dalam ketentuan lain tidak diatur keharusan korban meminta ganti rugi atas suatu tindak pidana, dilakukan melalui LPSK. Dengan kata lain, korban dapat mengajukan permohonan tersebut secara langsung tanpa melalui perwakilan apa pun. Kekhawatiran yang muncul adalah kencenderungan untuk memberlakukan asas lex specialis derogate legi generalis secara membabi buta, mengakibatkan UU PSK ini dianggap sebagai ketentuan khusus, sehingga ketentuan dalam KUHAP yang mengatur hak korban untuk meminta ganti kerugian tidak berlaku lagi.

Untuk memahami alur pengajuan perlindungan Saksi dan Korban, silahkan Klik DISINI



0 komentar:

Posting Komentar